4 My SHAPE: Menemukan Pola dalam Kekacauan
Perjalanan memahami siapa saya sebenarnya
4.1 Pengantar: Ketika Saya Tidak Tahu Siapa Saya
Selama 21 tahun hidup, saya menghabiskan sebagian besar waktu menghindari pertanyaan sederhana: Siapa saya sebenarnya?
Bukan karena saya tidak peduli. Tapi karena jawabannya terasa terlalu besar, terlalu abstrak, terlalu… menakutkan. Lebih mudah untuk fokus pada hal-hal yang konkret: tugas, deadline, nilai, rencana karir. Tapi di suatu titik, semua itu terasa seperti topeng yang saya pakai tanpa pernah tahu wajah di baliknya.
Dan kemudian, ada tugas ini. My SHAPE. Sebuah framework untuk memahami diri sendiri berdasarkan lima dimensi:
- Spiritual Gifts (Karunia Rohani)
- Heart (Passion / Hasrat)
- Abilities (Kemampuan)
- Personality (Kepribadian)
- Experience (Pengalaman Hidup)
Awalnya, saya pikir ini hanya formalitas: mengisi lembar kerja, menulis jawaban yang “benar”, selesai. Tapi ternyata, proses ini memaksa saya untuk jujur dengan diri sendiri. Dan kejujuran itu… tidak selalu menyenangkan.
5 SHAPE Analysis: Membongkar Diri Sendiri
5.1 S - Spiritual Gifts: Analytical Thinking & Problem-Solving
Saya tidak yakin apakah ini “spiritual gift” dalam pengertian religius. Tapi kalau ada satu hal yang konsisten dalam hidup saya, itu adalah cara saya melihat dunia sebagai sistem yang bisa dipecahkan.
Sejak kecil, saya selalu bertanya: Kenapa ini bekerja seperti ini? Bagaimana kalau kita ubah X, apakah Y akan berubah? Orang bilang saya overthinking. Saya bilang itu cara otak saya bekerja.
Di kuliah, ini menjadi lebih jelas. Ketika teman-teman saya merasa overwhelmed dengan kompleksitas sistem informasi, saya justru merasa… nyaman. Bukan karena saya lebih pintar, tapi karena saya menikmati proses memetakan chaos menjadi struktur.
UML diagrams? Sequence diagrams? System flowcharts? Itu bukan tugas yang membosankan buat saya: itu adalah cara saya memahami dunia.
Insight: Saya baru menyadari bahwa “karunia” saya bukan tentang menjadi jenius, tapi tentang menemukan ketenangan dalam kompleksitas. Sementara orang lain stres dengan terlalu banyak informasi, saya stres ketika informasi terlalu sedikit.
5.2 H - Heart: The Paradox of Passion
Ini bagian paling sulit untuk dijawab, karena jujur saja, saya tidak yakin saya punya passion yang jelas.
Ketika saya memilih Sistem dan Teknologi Informasi, alasannya pragmatis: kerja remote, fleksibilitas, gaji lumayan. Bukan karena saya “passionate” tentang IT. Dan sampai sekarang, saya masih bertanya-tanya apakah saya di jalur yang benar.
Tapi kemudian saya menyadari sesuatu: Passion itu tidak selalu berbentuk “I love this so much I could do it forever.” Kadang passion itu berbentuk “This makes sense to me when nothing else does.”
Contoh konkret: Minggu lalu, saya menghabiskan 2 jam membuat sequence diagram untuk sistem pendaftaran mahasiswa. Apakah itu exciting? Tidak. Apakah saya enjoy? Ya, dalam cara yang aneh.
Ketika saya berhasil memetakan flow dari “mahasiswa klik tombol daftar” sampai “data tersimpan di database” dengan semua edge cases-nya, ada rasa tenang yang tidak saya dapatkan dari hal lain. Seperti puzzle yang akhirnya terpecahkan.

Diagram seperti ini yang membuat saya merasa tenang: chaos yang berubah menjadi struktur yang bisa dipahami.
Mungkin itu bukan passion dalam pengertian tradisional. Tapi itu cukup untuk sekarang.
Insight: Passion tidak harus dramatis. Kadang passion adalah sesuatu yang membuat kamu merasa less lost, bukan more excited.
5.3 A - Abilities: What I’m Actually Good At
Berdasarkan refleksi dan feedback dari orang lain, inilah yang saya cukup kompeten lakukan:
5.3.1 1. Logical Reasoning & Structured Thinking
Saya bisa memecah masalah kompleks menjadi bagian-bagian yang bisa diproses.
Contoh: Ketika tim project saya overwhelmed dengan requirement yang ambiguous dari client, saya yang bikin breakdown: “Okay, kita punya 3 masalah utama. Masalah #1 bisa kita solve dengan X. Masalah #2 tergantung jawaban client tentang Y. Masalah #3 kita defer dulu sampai #1 dan #2 clear.” Suddenly, chaos jadi manageable.
5.3.2 2. Technical Documentation
Saya bisa menjelaskan konsep teknis dengan cara yang (relatif) mudah dipahami.
Contoh: Waktu presentasi system design, dosen tanya “Kenapa pakai microservices architecture?” Kebanyakan kelompok jawab dengan jargon. Saya jawab: “Bayangin kalau rumah kita cuma punya satu kamar mandi. Kalau rusak, semua orang ga bisa mandi. Microservices itu kayak setiap kamar punya kamar mandi sendiri: kalau satu rusak, yang lain tetap jalan.” He nodded. Jargon vs analogy.
5.3.3 3. Learning New Systems Quickly
Saya tidak expert di satu hal tertentu, tapi saya cepat adaptasi ke tool atau framework baru.
Contoh: Semester ini tiba-tiba harus pakai Docker untuk deployment. Saya belum pernah touch Docker sebelumnya. 2 hari baca dokumentasi + trial error, saya berhasil containerize aplikasi dan deploy ke cloud. Not perfect, tapi functional.
5.3.4 4. Critical Analysis
Saya bisa lihat gap, inconsistency, dan potential problem dalam sebuah sistem.
Contoh: Di requirement document yang dikasih client, ada statement: “User bisa edit data kapan saja.” Saya langsung notice: “Wait, kalau user A dan user B edit data yang sama simultaneously, gimana? Ada locking mechanism? Atau last-write-wins?” Ternyata mereka belum kepikiran. That’s my thing: spotting the edge cases.
Yang TIDAK saya kuasai: - Public speaking (still learning) - Networking & socializing (introvert problems) - Quick decision-making under pressure (I need time to think)
Insight: Abilities bukan tentang menjadi yang terbaik, tapi tentang tahu apa yang bisa kamu kontribusikan ketika orang lain butuh.
5.4 P - Personality: The Introverted Analyst
Kalau ada satu kata yang menggambarkan kepribadian saya, itu adalah: Introverted, detail-oriented, dan chronically overthinking.
5.4.2 Detail-Oriented (To a Fault)
Saya bisa menghabiskan 30 menit untuk memilih font di presentasi. Apakah itu productive? Tidak. Apakah saya akan tetap melakukannya? Ya.
5.4.3 Overthinker yang Self-Aware
Ini mungkin trait yang paling defining. Saya bisa overthink keputusan sederhana sampai lumpuh. Tapi setidaknya saya tahu saya melakukan itu, yang membuat saya bisa manage (kadang).
Insight: Personality bukan sesuatu yang harus “diperbaiki”. Introvert bukan inferior version dari extrovert. Overthinker bukan broken version dari decisive people. Kita hanya punya cara kerja yang berbeda.
5.5 E - Experience: The Moments That Shaped Me
5.5.1 Experience 1: Ditolak SNMPTN, Diterima SBMPTN
(Sudah saya ceritakan di My Stories for You)
Lesson: Kegagalan bukan akhir. Kadang itu hanya redirect ke jalur yang sebenarnya lebih cocok.
5.5.2 Experience 2: Menyadari Keindahan ITB Setelah 2 Semester
(Juga sudah di My Stories)
Lesson: Kita sering terlalu fokus pada “drops of oil” (tugas, nilai, target) sampai lupa menikmati “the marvels of the world” (proses, pengalaman, momen).
5.5.3 Experience 3: Semester 7 dan Masih Merasa Lost
Ini pengalaman yang masih ongoing. Saya di semester 7, seharusnya sudah punya arah. Tapi jujur? Saya masih tidak yakin apa yang saya mau.
Apakah saya ingin jadi System Analyst? Mungkin. Apakah saya ingin kerja di corporate? Mungkin tidak. Apakah saya tahu apa alternatifnya? Juga tidak.
Lesson (yang masih saya pelajari): Tidak apa-apa untuk tidak tahu. Tidak apa-apa untuk masih mencari. Yang penting adalah jangan berhenti bergerak hanya karena tidak yakin ke mana.
6 Self Charter: Piagam Diri Saya
Setelah proses refleksi ini, saya membuat Self Charter: sebuah komitmen pribadi tentang siapa saya dan bagaimana saya ingin hidup:
6.1 Vision Statement
Menjadi seseorang yang menemukan ketenangan dalam kompleksitas, yang bisa memahami sistem tanpa kehilangan humanitas, dan yang terus belajar meskipun tidak selalu yakin.
6.2 Core Values
- Kejujuran dengan Diri Sendiri - Lebih baik mengakui “saya tidak tahu” daripada berpura-pura paham.
- Keseimbangan - Kerja keras itu penting, tapi jangan sampai lupa hidup.
- Growth Over Perfection - Progress > Perfection. Better done than perfect.
6.3 Commitments
- Saya berkomitmen untuk terus belajar, bahkan ketika tidak yakin ke mana arahnya.
- Saya berkomitmen untuk menjaga keseimbangan antara ambisi dan kewarasan.
- Saya berkomitmen untuk tidak menyerah hanya karena tidak yakin.
7 90-Second Elevator Pitch
Bayangkan saya bertemu dengan seseorang di lift: ada 90 detik untuk menjelaskan siapa saya:
“Hi, saya Jonathan, mahasiswa semester 7 STI ITB. Kalau ditanya apa yang saya lakukan, jawabannya adalah system analysis: saya membantu orang memahami bagaimana sistem bekerja dan bagaimana membuatnya lebih baik.
Tapi kalau ditanya apa yang saya sebenarnya lakukan, jawabannya lebih kompleks. Saya menghabiskan waktu untuk memetakan chaos. Entah itu sistem informasi, proses bisnis, atau bahkan cara berpikir saya sendiri: saya suka menemukan pola di tengah kekacauan.
Kenapa ini penting? Karena di dunia yang semakin kompleks, kita butuh orang yang bisa melihat big picture tanpa kehilangan detail. Dan itu adalah sesuatu yang saya coba kuasai.
Saya tidak bilang saya sudah expert. Saya masih belajar. Tapi saya punya sesuatu yang tidak bisa diajarkan: saya nyaman dengan ketidakpastian. Dan di era yang berubah cepat seperti sekarang, itu adalah skill yang underrated.
So, kalau kamu butuh seseorang yang bisa memecahkan masalah yang orang lain bahkan tidak tahu ada, saya mungkin orang yang tepat.”
8 Penutup: What I Learned
Proses My SHAPE ini bukan tentang menemukan jawaban final. Ini tentang memulai percakapan dengan diri sendiri: percakapan yang seharusnya sudah dimulai sejak lama.
Saya belajar bahwa: - Saya tidak harus punya semua jawaban sekarang. - Passion tidak harus berbentuk excitement: kadang itu berbentuk ketenangan. - Abilities saya mungkin tidak dramatis, tapi mereka cukup untuk membuat perbedaan. - Personality saya bukan sesuatu yang harus “diperbaiki”: itu hanya cara saya bekerja. - Experience saya, meskipun tidak spektakuler, membentuk siapa saya hari ini.
Dan yang paling penting: Saya masih dalam proses. Dan itu okay.
- “The secret of happiness is to see all the marvels of the world, and never to forget the drops of oil on the spoon.”
- Paulo Coelho, The Alchemist
Dan mungkin, secret of self-discovery adalah menerima bahwa kita akan selalu dalam proses: dan itu bukan bug, itu adalah feature.